Spiritualitas Hati Dalam Lintasan Sejarah

J. Mangkey, MSC                                                                       Novisiat MSC, 10 – 15 Oktober 2022

Pendahuluan

Spiritualitas Hati mempunyai dasarnya dalam Kitab Suci. Spiritualitas ini berintikan   pengalaman pribadi (personal) akan kasih Allah, yakni suatu gerakan atau bimbingan Roh untuk mengalami kasih Allah secara pribadi atau suatu pengalaman akan penemuan pribadi akan kasih Allah (personal discovery of God’s love). Allah dialami secara pribadi sebagai kasih, yakni sebagai Dia yang pertama-tama mengasihi manusia. Inilah kasih itu: “Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yohanes 4:10). Pada dasarnya spiritualitas hati adalah tentang kasih. “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1Yohanes 4:16). Itulah spiritualitas tentang kasih Allah yang menjelma menjadi manusia (Inkarnasi) dan diekspresikan serta dimanfestasikan dalam Hati Kristus yang penuh kelemahlembutan, kerendahan hati, belaskasih, kerahiman (misericordia, mercy), belarasa (compassion – cum patire) dan pengampunan (keutamaan-keutamaan, kualitas-kualitas Hati Yesus).

Dengan kata lain, spiritualitas hati bagi kita Keluarga Chevalier secara konkrit adalah a loving heart of Christ (caring and wounded). Spiritualitas ini merujuk pada perjanjian atau ikatan kasih (love covenant) dan berdimensi kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia.

Kata “Spiritualitas”

Kata “spiritualitas”, sebagaimana kita mengerti dan gunakan sekarang, kurang dikenal sampai abad kedua puluh, khususnya sesudah Konsili Vatikan II. Kata itu sendiri merupakan aplikasi dari kata bahasa Perancis abad ke-17 ‘spiritualité’ yang dipakai sebagai sinomin (kadang kala dalam arti peyoratif) dari kata “devosi”. Kata itu muncul dalam studi empat jilid oleh seorang anggota Sulpisian Perancis Pierre Pourrat (1871-1957), yang dipublikasikan antara 1917 – 1928 di bawah judul “La Spiritualité Chrétienne”. Sebelumnya kata ini dibahas secara terpisah di bawah rubrik teologi asketik, mistik atau rohani (Lihat: Dictionnaire de Spiritualité, yang mulai diterbitkan di Paris pada 1932, tetapi baru selesaikan pada 1994 dengan publikasi jilid ke-16). Secara umum, spiritualitas dikaitkan dengan kehidupan doa, praktek-praktek asketik/mistik/devosional dan pengolahan hidup batiniah.

Perspektif Biblis

Perspektif biblis spiritualitas hati dapat ditelusuri sejak Perjanjian Lama. Dalam PL kata ‘hati’ (Ibrani: leb, lebab, beten, quereb; Yunani: kardia, koilia, splancha; Latin: cor, venter, viscera) dipakai banyak kali dalam arti harafiah (literal) untuk menunjukkan organ tubuh sebagai tempat kekuatan dan kehidupan fisik. Pada umumnya kata ‘hati’ dipakai dalam arti kiasan (simbolik, metafor dan figuratif) yakni sebagai tempat kehidupan rohani dan intelektual seseorang, hakekat batin seorang manusia dan juga tempat perasaan-perasaan manusiawi seperti kegembiraan, derita, kesedihan, ketenangan, dsb, tempat berpikir (pengertian dan pengetahuan, termasuk pikiran-pikiran jahat), tempat kehendak (intensi dan keputusan). ‘Hati’ adalah bagian terdalam seorang manusia. Secara singkat, dalam Kitab Suci ‘hati’ (leb) menunjuk pada totalitas seorang manusia atau  manusia secara keseluruhan. Dengan kata lain.

Dalam Perjanjian Baru kata ‘hati’ juga dipakai berulang kali untuk menunjukkan kehidupan fisik seperti organ, tempat kehidupan natural (Luk 21:34; Kisah 14:17; Yak 5:5). Namun, kata ‘hati’ dalam PB lebih banyak dipakai untuk menunjukkan kehidupan intelektual dan rohani, kehidupan batin sebagai kontras kehidupan eksternal. Kardia merupakan pusat kehidupan rohani. Dalam hati seseorang terdapat emosi-emosi dan perasaan-perasaan, keinginan-keinginan dan nafsu (kegembiraan, derita dan kesedihan, cinta dan nafsu). Hati juga adalah pusat pengertian, sumber pemikiran dan refleksi. Hati adalah pusat kehendak dan keputusan-keputusan. Hati merujuk pada keseluruhan pribadi orang. Hati adalah juga pusat perjumpaan manusia dengan Allah, di mana kehidupan religiusnya berakar, yang turut menentukan perilaku moralnya.

Secara singkat, Kitab Suci terutama menggunakan kata ‘hati’ untuk menunjuk keseluruhan pribadi orang, yang meliputi organ fisik, kehidupan batin, kehidupan afektif serta kehidupan intelektual/kognitif. Juga manifestasi kehidupan religius dan moral diatributkan pada hati. Dengan kata lain, hati adalah pusat interioritas manusia; hati adalah pribadi manusia secara menyeluruh![1]

Selanjutnya, dalam lintasan sejarah spiritualitas hati dihayati dan diungkapkan atas pelbagai cara, misalnya oleh Ordo/Tarekat yang mengambil Hati Yesus sebagai sumber inspirasi hidup dan karyanya. Ada juga tokoh-tokoh Gereja atau penulis-penulis rohani yang memandang, memahami dan mengintegrasikan hati dalam karya mereka. Walaupun tidak semua secara eksplisit memakai kata “hati” namun atas salah satu cara mereka berfokus pada inti pribadi manusia, yang tidak lain adalah hati.[2]

Para Bapak Gereja – Zaman Patristik (thn 100 – 800)

Kata atau istilah ‘spiritualitas hati’ adalah penemuan moderen, khususnya dalam rangka kembali ke sumber-sumber asli sebagaimana diamanatkan oleh Konsili Vatikan II (1962 – 1965).[3] Walaupun demikian pemahaman tentang spiritualitas hati dapat ditelusuri mulai dari para Bapak Gereja. Walaupun tidak menyebutkan secara khusus bahwa Hati Kristus adalah simbol cinta Allah, tetapi tulisan-tulisan mereka sudah mengandung unsur-unsur dan gagasan-gagasan yang kelak akan menjadi bagian dari devosi dan spiritualitas ini. Misalnya gambaran tentang Lambung (Hati) Kristus yang Ditikam/the pierced Heart of Christ: “seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air”  (Yoh 19:34) menjadi salah satu topik refleksi utama seperti ditemukan dalam Bapak-Bapak Gereja.

Tentang hati dalam Injil Yohanes menurut Hugo Rahner ada tiga aliran/pendekatan/cara membaca/tafsir dalam Bapak-Bapak Gereja. Cara-cara ini merefleksikan aspek-aspek pemahaman dan penghayatan yang di kemudian hari disebut Devosi kepada Hati Kudus Yesus/Spiritualitas Hati.

  1. Tradisi tentang air yang hidup (Yoh 7:37-39):

Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup. Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya; sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum dimuliakan.

Let anyone who is thirsty come to me! Let anyone who believes in me come and drink! As scripture says, “From his heart shall flow streams of living water.” He was speaking of the Spirit which those who believed in him were to receive; for there was no Spirit as yet because Jesus had not yet been glorified.” 

Bandingkan dengan: ‘If any man thirsts, let him come to me. And let him drink, who believes in me. As the Scripture says: “Fountains of living water shall flow from HISbosom/koiliaand If any man thirsts, let him come to me and drink. He that believes in me, as the Scripture says: Fountains of living water shall flow from his bosom/koilia” ATAU “Si quis sitit veniat ad me et bibat qui credit in me sicut dixit scriptura flumina de ventre eius fluent aquae vivae hoc autem dixit de Spiritu quem accepturi erant credentes in eum non enim erat Spiritus quia Iesus nondum fuerat glorificatus” (Latin Vulgate).

Ada dua cara menafsirkan atau membaca teks ini yakni tafsiran/pendekatan Efesian dan Alexandrian.

Cara atau pendekatan Efesian menekankan bahwa sumber air hidup mengalir dari lambung Kristus. Dari lambung Kristuslah aliran-aliran air hidup mengalir. Beberapa Bapa Gereja, dalam komentarnya atas lambung Yesus yang ditikam dengan tombak tentara (Yoh 19:34) memahami peristiwa tersebut demi memenuhi janji Yesus sendiri bahwa “aliran-aliran air hidup” akan memancar dari hati-Nya (Yoh 7:39-39). Yesus mempresentasikan diri-Nya sendiri sebagai sumber air hidup, sumber Roh. Menurut cara baca atau interpretasi ini, Yoh 7:37-39 berbunyi: “On the last and great day of the feast, Jesus stood and cried, saying: ‘If any man thirsts, let him come to me. And let him drink, who believes in me. As the Scripture says: “Fountains of living water shall flow from HIS bosom/koilia” –  

Seorang saksi utama cara baca Efesian adalah Hippolytus dari Roma, yang menerima tafsiran ini dari St. Ireneus, yang menulis: “Gereja adalah sumber air hidup yang mengalir kepada kita dari Hati Kristus. Karena di mana Gereja berada, di situ juga Roh Allah hadir; dan di mana Roh Allah hadir di situ ada Gereja dan seluruh rahmat; Roh adalah kebenaran. Oleh karena itu, mereka yang tidak mengambil bagian di dalam Dia tidak akan menerima santapan hidup dari kandungan Ibu dan juga tidak akan menerima dari sumber termurni yang mengalir dari Tubuh Kristus” (Adversus Haereses, III, 24,1.). “Tetapi Roh Kudus ada di dalam setiap pribadi kita, dan Dialah sumber air hidup yang telah diberikan Tuhan kepada semua yang percaya di dalam Dia dengan cara yang tepat” (Adversus Haereses V 18,2).

Kesaksian kedua berasal dari St.Yustinus; ia belajar mengenal iman kristiani justru di Efesus. Sering kali ia menunjuk pada Yesus sebagai sumber air hidup. Ia sendiri menulis suatu teologi singkat mengenai Hati Kudus, terdiri dari kombinasi tiga teks: Yoh 7:37-39 bersama dengan Yoh 19:34 dan gambaran Paulus mengenai Kristus sebagai batu karang yang mengalirkan air (1Kor 10:4): “Kita orang-orang kristen adalah Israel yang sejati yang memiliki asal-usulnya di dalam Kristus, karena kita telah dibentuk dari hati-Nya (koilia) sebagai suatu batu karang” (Dialog 135:5).

Teologi dari Asia Kecil ini juga dapat dijumpai di dalam Gereja Afrika Perdana: dalam karya-karya St. Siprianus, dalam suatu karya yang sangat tua dari Spanyol: “Ketika bangsa itu menderita kehausan di padang gurun, Musa memukulkan tongkatnya ke batu karang, tongkat yang terbuat dari kayu, dan mengalirlah air. Hal ini adalah suatu prototipe dari misteri baptis. Karena batu karang adalah simbol dari Kristus, seperti yang dikatakan oleh sang rasul: Mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu adalah Kristus. Jadi jelaslah bahwa batu karang adalah simbol Tubuh Tuhan, yang dipukul dengan kayu salib dan yang kini memberikan air kehidupan kepada semua yang haus. Karena ada tertulis: Aliran air kehidupan akan membual dari lambung-Nya.”

Bahkan St.Ambrosius, yang membaca suatu tulisan dari Aleksandria, mengungkapkannya di dalam suatu doa yang indah:

Minumlah dari Kristus, karena Dialah batu karang yang membualkan air.

Minumlah dari Kristus, karena Dialah sumber kehidupan.

Minumlah dari Kristus, karena Dialah aliran yang memuliakan kota Allah.

Minumlah dari Kristus, karena Dialah Sang Kedamaian.

Minumlah dari Kristus, karena aliran air hidup membual dari Tubuh-Nya.

(Explanatio Psalmorum 1,33)

Di sini kita berjumpa dengan ungkapan yang begitu berharga dalam kedua tulisan Hugo Rahner: ‘Fons vitae’, sumber hidup (bdk.Why 21:6). Kristuslah sumber kehidupan, karena sebagai Tuhan yang bangkit Ia mengutus Roh Kudus. Hati-Nya adalah pemenuhan Roh, dan Ia memberi kita suatu hati baru melalui penganugerahan Roh Kudus.

Sedangkan pendekatan kedua disebut cara baca atau tafsir Aleksandrian yang menyarankan penekanan yang berbeda dengan membaca: “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup” (Yoh 7:37-39). “If any man thirsts, let him come to me and drink. He that believes in me, as the Scripture says: Fountains of living water shall flow from his bosom/koilia” (Latin Vulgate). Cara baca atau tafsir Alexandrian ini lebih menginterpretasikan bahwa air hidup mengalir dari HATI orang yang percaya (believer). Kitab Suci Vulgata, yang ditulis dalam bahasa Latin, telah membiasakan pembaca dengan uraian bahwa hati umat beriman ditunjuk sebagai sumber air hidup. Cara ini berasal dari Origenes dan diambil alih oleh banyak Bapa Gereja Yunani dan Latin, khususnya St Ambrosius dan St Agustinus. Kewibawaan mereka memengaruhi seluruh Tradisi Barat.

Melalui suatu penelitian yang akurat Hugo menunjukkan bahwa para Bapak Gereja Yunani yang terdahulu memakai teks lain, di mana lambung Yesus ditunjuk secara langsung sebagai sumber air hidup, sumber Roh Kudus. Ia menyebut teks ini adalah uraian kepada umat di Efesus (pendekatan Efesian), berlawanan dengan uraian ‘Aleksandrian’ dari Origenes. Kendati penganut uraian teks Efesus secara kuantitas jumlahnya sedikit, kewibawaan mereka begitu besar sehingga Hugo yakin bahwa di sini ia telah menemukan uraian otentik mengenai teks tersebut. The Jerusalem Bible dan juga Alkitab terjemahan Willibrordus mengikuti uraian dari Efesus. Sumbangan ini penting bagi studi mengenai Hati Kudus di dalam Alkitab.

b. Tradisi Patristik mengenai privilese rasul Yohanes

Penulis pertama yang secara khusus memperkenalkan kepada kita hak istimewa rasul Yohanes untuk bersandar pada dada Kristus dan minum dari sumber air hidup, diulang sekali lagi oleh Origenes yang termasyhur. Di sini kami hanya mengutip satu teks dari Tradisi ini, yaitu dari satu karya St.Gregorius dari Nissa:

“Selama perjamuan malam terakhir ia mulai meneguk ajaran mengenai “Sabda” sambil meletakkan kepalanya di dada Sang Penyelamat, dan ia melabuhkan hatinya di dalam sumber kehidupan. Laksana busa dipenuhi air, secara keseluruhan dipenuhi dengan misteri Kristus yang menyatakan Diri padanya dengan cara yang tak terucapkan, sang rasul menunjukkan diri kepada kita laksana sebuah jiwa, sarat dengan anugerah yang ia terima dari Sabda yang ia timba dari sumber air sejati” (Liber Sacramentorum: In Nativitate S.Joannis, PL 78,34).

Sebagai penutup dari seluruh bagian ini, yang dapat diperkaya dengan berbagai kutipan lainnya, kami mengutip kesimpulan dari Hugo Rahner:

“Seluruh sejarah ajaran patristik mengenai luka lambung Kristus dapat disimpulkan dalam ungkapan ini: Fons vitae. Sejak St.Yohanes, yang bersandar pada dada Tuhan, sejak Yustinus dan Ireneus yang menunjukkan kepada kita sumber yang memancar keluar dari Hati Kristus, terbentang dalam perjalanan masa suatu tradisi tak terputuskan melalui fikiran dan tulisan. Berdasar pendasaran ini, yang diletakkan oleh pengertian Gereja Perdana, penghormatan kepada Hati Kudus saat ini kembali lagi, seperti yang ditekankan di dalam liturgi. Dari titik awal ini perkembangan penghormatan tersebut memperoleh lukisan putaran yang penuh, kembali kepada asal mulanya: aliran-aliran dari Hati Kristus yang dinubuatkan para nabi, yang dijanjikan dalam Kristus sebagai sumber air hidup, dan yang mengalir keluar dari luka lambung-Nya menuju Gereja, kini mengalir, seperti doa mengenai Gereja yang satu, kudus, mengenai seluruh bumi (Stierli o.c. hal.57).

Demikianlah, unsur paling esensial dalam pemikiran patristik adalah refleksi teologis tentang Hati/lambung Yesus yang ditikam, dari mana Gereja berasal. Ini menjadi pemahaman fundamental para Bapak Gereja dan orang-orang kristen perdana tentang Hati Yesus. Refleksi ini disertai juga dengan refleksi tentang hati orang beriman, tempat air hidup mengalir. Demikian, dalam zaman Patristik penekanan ada pada aspek reflektif / intelektual atau pada pemahaman, pengertian seputar Hati Yesus yang ditikam.

Abad Pertengahan

Apa yang dipahami dan dituliskan oleh para Bapak Gereja tentang unsur-unsur esensial menyangkut Hati (lambung) Yesus (refleksi teologis), dalam abad pertengahan bergeser pada aspek devosional. Abad pertengahan ini merupakan periode signifikan dalam perkembangan devosi Hati Kudus, yang menjadi semakin kentara/kelihatan. Dibandingkan dengan teologi patristik yang mengembangkan paham tentang sumber rahmat yang tak habis-habisnya yang mengalir dari Hati Yesus yang ditikam, periode abad pertengahan “menemukan aspek lain dari misteri ini yakni disposisi pribadi/batin dari Hati Tuhan” (J. Stierli, “Devotion to the Sacred Heart from the end of Patristic Times down to St. Margareth Mary,” dalam Heart of the Saviour, ed. Stierli, hal. 60). Pergeseran ini menghantar pada devosi Hati Yesus yang semakin kentara. Seluruh hidup batin Yesus, apa yang dirasakan-Nya, khususnya penderitaan/luka-luka-Nya, menjadi obyek devosi.

Periode awal abad pertengahan yakni sekitar tahun 800-1200 merupakan transisi dari masa patristik ke masa abad pertengahan. Dalam periode ini inisiatif masih berada pada para teolog yang memperdalam dan mengembangkan gagasan-gagasan patristik. Tetapi lama-kelamaan praktek devosional mulai muncul dan berkembang. Luka-luka Yesus mulai menjadi fokus devosi dari para mistikus.

Periode pertengahan (medio) yakni sekitar tahun 1200-1400 merupakan masa emas para mistikus besar, dan fokus berpindah pada Hati Yesus yang terluka. Bahasa eksplisit tentang Hati Yesus dikembangkan. Keinginan saleh untuk membalas cinta atas cinta sang tersalib yang tercinta mulai muncul.

Dalam periode ketiga/akhir yakni sekitar tahun 1400-1670an, pembaharuan dan perluasan devosi muncul di kalangan kaum awam serta kelompok-kelompok kaum awam yang sering terhubung dengan biara-biara lokal, yang mencari penghiburan dan kekuatan dalam Hati Yesus.

Dalam periode awal abad pertengahan (800-1200) biara-biara memainkan peranan penting dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran patristik. Biara-biara muncul menjadi pusat studi dan kedamaian karena biara-biara menawarkan cara yang tenang untuk mencapai kedamaian. Bdk perkembangan biara-biara Benediktin – Benediktus (lahir sekitar 480 di Norcia/Nursia dan meninggal pada 547), dsb. Beberapa tokoh terkemuka seperti Anselmus dari Canterbury dan Bernardus dari Clairvaux menyebutkan Hati Yesus dalam tulisan-tulisan mereka. Bagi William dari Thierry sakramen-sakramen penebusan mengalir dari lambung Yesus dan luka pada lambung-Nya yang tertikam adalah pintu masuk dari orang beriman untuk tinggal di dalam Hati Yesus demi mendapatkan kedamaian, penghiburan dan kemanisan. Ia memandang Hati Yesus yang tertikam sebagai simbol kehidupan batin Yesus yang lemah lembut, sumber surgawi dari setiap kemanisan dan simbol penderitaan Yesus. Lambung Yesus sebagai sumber rahmat dimengerti sebagai sumber penghiburan. Demikianlah, sementara para Bapa Gereja lebih menekankan pendekatan teologis, para mistikus abad pertengahan cenderung mengambil pendekatan yang lebih saleh/devosional.

Medio abad pertengahan dikenal sebagai abad emas pertama dari devosi kepada Hati Kudus Yesus. Gagasan-gagasan para teolog dan kesalehan para mistikus digabungkan bersama. Unsur devosional yang hangat menjadi semakin kentara dan kuat. Para pelaku perang salib (crusaders) yang kembali ke tanah air mereka (di Eropa) membantu orang-orang untuk menghargai penderitaan dan kebangkitan Kristus, yang menjadi kekuatan mereka dalam perang salib/crusade. Pada November 1095, dalam Konsili di Clermont, Perancis Selatan, Sri Paus Urbanus II menyerukan kepada orang-orang kristen Barat untuk mengangkat senjata untuk mencegah ekspansi Islam, merebut kembali wilayah-wilayah bekas kristen di wilayah Timur (misalnya Palestina, Syria, Mesir, dsb), khususnya merampas kembali Tanah Suci yang sudah jatuh dalam kontrol Islam. Ini menandai awal Perang Salib yang berlangsung sekitar 200 tahun (crusade ke 8 pada 1270).

Sejumlah wanita mistik, yang akan menjadi pendahulu Margareta Maria Alacoque, muncul ke permukaan. Mereka adalah Lutgarde dari Aywieres (1246), Mechtilde dari Magdeburg (1207-1282), Gertrude Agung (1256-1302), Mechtilde dari Hackeborn (+ 1295) dan Katarina dari Siena (1347-1380). Mereka menulis tentang Hati Kristus sebagaimana dialami secara pribadi. Kepada mereka Kristus menampakkan diri dalam rupa Hati sebagai simbol cinta-Nya kepada umat manusia disertai undangan untuk membalas cinta dengan cinta.

Dalam penghayatan devosional mereka kemanusiaan Kristus menjadi obyek meditasi dan kontemplasi. Tempat khusus diberikan pada kontemplasi atas Hati manusiawi dari Kristus, yang di satu pihak memunculkan rasa sakit/penderitaan, tetapi di pihak lain juga rasa hangat, rasa akrab/dekat dan rasa manis. Bagi Lutgarde dari Aywieres dia dan Kristus adalah bagaikan sang pencinta (yang mencintai) dan yang dicintai (the lover and the beloved) disertai pertukaran dua hati (exchange of hearts). Kepadanya diberikan penglihatan akan Kristus yang disalibkan dan berdarah. Kristus nampak kepadanya dalam bentuk manusiawi dan menunjukkan kepadanya luka pada lambung-Nya, sambil berkata: “Oleh karena itu, kontemplasikan apa yang engkau harus cintai dan mengapa engkau harus mencintainya.” Dalam dia kita menemukan tekanan utama pada luka-luka dan penderitaan sang Juruselamat.

Mechtilde dari Magdeburg masuk biara di Helfta pada usia agak lanjut. Baginya hidup rohani adalah dialog antara jiwanya dan sang Pengantin (the betrothed) yaitu Kristus. Bahasa yang dipakai adalah bahasa dari Brautmystik (Bridemystic – Mistik Pengantin), yakni para mistik yang menggunakan gambaran pengantin atau bahasa yang melukiskan kesatuan mistik dengan Kristus bagaikan kesatuan suami dan isteri. Ia yakin bahwa ia mendapat penampakkan Hati Tuhan. Ia sendiri banyak menderita, namun diberikan penglihatan sang Penyelamat yang menderita, yang mengizinkan dia untuk melihat hati-Nya sebagai tanda kasih-Nya. Hati Tuhan ini memberikan kekuatan dalam menghayati sengsara dan penderitaannya. Ia menulis: “Dalam derita-derita saya yang besar Allah mewahyukan diri-Nya pada jiwaku, menunjukkan luka Hati-Nya dan berkata: Lihatlah bagaimana mereka melukai Aku.” Baginya Hati Kristus adalah hati fisik/manusiawi-Nya yang merupakan simbol cinta yang menjelma dan menyelamatkan. Itulah kehidupan batin Yesus yang bernyalakan cinta.

Mechtilde dari Hackeborn diberikan rahmat-rahmat besar dari Allah. Baginya Kristus terutama adalah Allah yang bangkit dan dimuliakan. Hati Yesus adalah hati yang dimuliakan. Kristus bukan terutama orang yang penuh derita tetapi adalah Tuhan yang dimuliakan, yang bertahtakan kemuliaan surga. Dia adalah Kristus liturgis. Walaupun hidupnya sendiri penuh dengan derita dan salib namun ia menemukan ketentraman dan penghiburan, perlindungan dan damai dalam Hati Kristus yang dimuliakan.

Gertrude Agung sudah diserahkan pada biara di Helfta pada usia 5 tahun. Ia mengalami banyak penderitaan, namun ia juga dianugerahi banyak rahmat doa. Hidupnya adalah suatu pendakian terus menerus menuju Allah. Gertrude juga dipengaruhi oleh Brautmystik dan menggunakan bahasa dari dia yang mencintai dan yang dicintai. Ia berbicara tentang pertukaran hati Tuhan dengan hatinya. Ia juga menemukan Hati Kristus yang dimuliakan sebagai sumber dan asal semua rahmat, kekayaan cinta, perlindungan dan tempat istirahat yang tenang. Walaupun baginya, Hati Tuhan, yang tersalib, membara dengan cinta, disatukan dengan misteri sengsara, namun tekanan diberikannya pada Hati Tuhan yang bercahaya dan dimuliakan.

Katarina dari Siena (Italia) menemukan Hati Tuhan sebagai obyek cinta. Pengalaman-pengalaman mistiknya mencapai puncaknya dalam pertukaran hati Kristus dan hatinya. Pada 10 Juli 1370 ia mendapat penampakan berupa pertukaran dua hati. Ia masuk ke dalam hati Yesus dan Yesus menyerahkan hati-Nya kepada pengantin wanitanya yakni dia sendiri. Penampakan ini menghantar dia untuk semakin mengambil bagian secara lebih lengkap dalam penderitaan dan pengorbanan Kristus. Tuhan memeteraikan (imprint) tanda-tanda luka-luka-Nya pada hatinya. Cintanya bersumber pada darah Hati Tuhan dan ia menyerahkan seluruh dirinya untuk dikorbankan bersama Kristus demi keselamatan Gereja dan dunia. Hal ini misalnya terwujud dalam misinya yang khusus yakni untuk memperhatikan Gereja dan Sri Paus.

Para wanita yang disebutkan di atas mewariskan fitur-fitur (features) besar dalam hal perkembangan devosi Hati Kudus dan menghasilkan apa yang disebut “Abad emas pertama devosi Hati Kudus.”

Para Dominikan memainkan peranan besar dalam mempromosikan devosi kepada Hati Yesus. Bagi mereka inti devosi adalah mistisisme sengsara Kristus. Albertus Agung berbicara tentang hati manusiawi dalam kaitan dengan darah mulia yang mengalir dari lambung yang terluka. Dalam pemikirannya tentang duka yang berasal dari lambung yang ditikam ia membuat kaitan antara Hati itu dengan Sakramen Mahakudus. Meister Eckhart adalah seorang pengkhotbah ulung tentang Hati Yesus. Ia mendekati Hati Kudus melalui sengsara, di mana Hati Kristus di salib terbakar bagaikan dalam tungku api yakni api cinta-Nya bagi dunia. Tauler dan Henry Suso, dalam derajat tertentu, juga berbicara tentang Hati Kristus. Dalam abad ke 14 ini para Dominikan bahkan telah merayakan suatu Pesta untuk menghormati lima luka Kristus disertai doa ofisi khusus. Juga para Fransiskan (misalnya Fransiskus, Bonaventura), khususnya pada masa awal kelompok mereka, berdevosi pada lima luka Kristus.

Pada akhir abad pertengahan devosi beralih dari biara-biara kepada kaum awam. Para Kartusian (ordo yang didirikan oleh St Bruno pada 1084 dengan pertapaan pertama di pegunungan Chartreuse) adalah pengkhotbah-pengkhotbah besar misteri Hati Kudus. Mereka didukung oleh gerakan Devotio Moderna (DM). Gerard de Groote adalah bapak gerakan ini (DM), yang menekankan meditasi dan hidup batin yang sentimental, mengesampingkan hidup spekulatif dan tidak terlalu mementingkan kegiatan-kegiatan ritual dan lahiriah. Gerard juga mendirikan suatu komunitas yang diberi nama “Brethren of the Common Life,” yang salah satu anggotanya yang terkenal adalah Thomas a Kempis, penulis buku klasik “Imitatio Christi” (Hal Mengikuti Jejak Kristus) yang secara jelas melukiskan sifat gerakan Devotio Moderna. (cf Ama nesciri et pro nihilo reputari – love being unknown and unregarded – suka untuk tidak dikenal dan tidak dipandang/dihargai).

Pada masa ini mulai muncul ekspresi liturgis dari misteri Hati Kudus. Kemanusiaan Kristus semakin menarik banyak orang dan gagasan tentang silih/reparasi/pemulihan mulai muncul dalam keterkaitannya dengan Ekaristi.

Devosi Hati Kudus: dari pribadi menjadi publik

Banyak tokoh yang memberi kontribusi pada perkembangan devosi kepada Hati Kudus, sebagaimana ditunjukkan dalam pelbagai bentuk devosi khusus, diantaranya para wanita Brautmystik, Meister Eckhart, Gerard de Groote, Thomas a Kempis, dsb.

Ada juga Fransiskus de Sales yang bersama Yohana Fransiska de Chantal memperkenalkan devosi ini kepada Ordo Visitasi, di mana Margaret Maria Alacoque kemudian bergabung. Sejumlah penulis Yesuit mempunyai kontribusinya, seperti Petrus Canisius, Francis Bogia, Cornelius A Lapide, Louis Lallement dalam memperdalam dan menyebarkan devosi ini. Para Yesuit mengaitkan devosi ini pada Ekaristi.

Juga Sekolah Spiritualitas Perancis mempunyai kontribusi melalui tokoh-tokohnya seperti Cardinal de Berulle (Pendiri Oratorium Perancis), Jacques Olier (pendiri Seminari Sulpisian – St Sulpice) dan Charles de Condren.

Kardinal de Berulle menetapkan untuk Oratorium-nya Pesta Yesus untuk menghormati pribadi-Nya dalam aspek ilahi dan manusiawi. Dalam Tarekat Sulpisian sudah ada Pesta untuk menghormati Hidup Batin (Interior Life) Yesus. Oleh Olier hidup batin Yesus adalah hati mulia Yesus, sumber dan prinsip segala kesucian di dalam Gereja. Sekolah Berullian menyebut Hati Yesus sebagai pusat Hidup Batin dari Guru Ilahi beserta seluruh disposisi-Nya, yang utamanya adalah cinta. Hidup batin Yesus mencakup sengsara dan penderitaan, yang menunjuk pada pengorbanan, lalu berpuncak pada kemuliaan.

Tokoh penting berikutnya dalam perkembangan devosi Hati Kudus adalah Johanes (Jean) Eudes (14 November 1601-19 Agustus 1680). Ia adalah anggota Oratorium dan kemudian mendirikan Kongregasi Our Lady of Charity (Bunda Cinta kasih) dan Kongregasi Yesus dan Maria. Perhatian pertamanya adalah penghormatan pada Hati Tersuci Maria. Ia juga bekerja untuk mempromosikan devosi Hati Kudus serta meletakkan dasar teologis yang kuat untuk devosi pada Hati Maria dan Hati Yesus, yang dilihatnya dalam kesatuan erat. Dia lalu memberikan penghormatan baik pada Hati Yesus maupun Hati Maria secara bersama-sama.

Sebagaimana telah kita lihat di atas, luka-luka suci Kristus, khususnya lambung-Nya yang ditikam telah menarik minat banyak orang kristiani. Dalam mengkontemplasikan dan menghormati lima luka Tuhan yang mereka temukan sebagai sumber rahmat dan penghiburan yang kaya. Selanjutnya, luka pada lambung-Nya menjadi obyek devosi yang lebih khusus dan sangat populer. Lambung yang ditikam diasosiasikan dengan sumber segala rahmat dan asal Gereja serta kehidupan sakramental. Air hidup yang mengalir dari lambung tersebut adalah Roh Kudus.

Johanes Eudes lalu mensistesekan semua unsur ini dalam suatu ajaran dan bentuk kesalehan/devosi. Obyek spesifik devosi Hati Kudus adalah cinta Yesus yang besar dan tak terkira dalam semua aspeknya. Ia lalu membedakan tiga aspek Hati Yesus: fisik-lahiriah (corporeal), rohani (spiritual) dan ilahi (divine). “Hati lahiriah adalah organ fisik, adalah hati manusiawi. Itulah letak bagian afektif jiwa, simbol hubungan natural dan prinsip hidup. Hati lahiriah Yesus adalah simbol cinta-Nya yang penuh perasaan, semangat dan emosi. Hati rohani adalah simbol cinta; ada relasi cinta yang mendalam. Inilah simbol cinta-Nya kepada Bapa, ibu-Nya dan kita. Hati ilahi adalah simbol dari cinta yang tak tercipta dan abadi, cinta Allah Bapa yang paling mendasar; itulah Allah sendiri yang hidup di dalam diri kita, karena Allah adalah cinta.” (Paul Milcent, “Jean Eudes,” Dictionnaire de Spiritualité, 8:498); Pierre Pourrat, Christian Spirituality, p. 399-400). Ketiga dimensi hati ini tidak terpisahkan tetapi satu dan sama.

Dalam pengajaran awalnya Eudes tidak memisahkan hati Yesus dan hati Maria. Baginya dua hati ini adalah satu saja. Cinta Yesus adalah cinta Maria, hati Yesus adalah hati Maria. Misteri Kristus terpenuhi secara lengkap dalam diri Maria. Oleh karena itu, ia pun menghormati dua hati itu bersama-sama. Ia menulis satu doa ofisi dan membaktikan Kongregasinya pada hati Yesus dan hati Maria.

Pada 1670 Eudes merasakan suatu kebutuhan untuk mengusulkan dalam doa kristiani suatu Pesta Hati Yesus yang berbeda dengan Pesta Hati Maria. Dengan persetujuan Uskup pada 31 Agustus 1670 Pesta Hati Kudus dirayakan di seminari tinggi Rennes, Perancis. Eudes melihat bahwa Hati Yesus adalah simbol cinta Allah dan prinsip segala tindakan. Dalam Yesus kita mencintai Allah yang mencintai kita. Gagasan atau usulan dari Eudes kemudian diterima dan Pesta Hati Yesus dijadikan resmi dalam Gereja oleh Paus Pius IX pada tahun 1856.

Kepada St Johanes Eudes kita memberikan penghargaan karena telah memulaikan devosi publik yang pertama pada Hati Kudus. Ia menyusun Misa dan Ofisi untuk menghormati Hati Kudus, yang juga ditawarkan kepada Gereja/umat. Demikian ia mempromosikan kepada publik/umat Pesta Hati Kudus Yesus. Melalui segala usahanya devosi kepada Hati Kudus, yang sampai pada masanya masih lebih bersifat pribadi, menjadi publik. Dari dia kita mendapat Pesta Hati Kudus yang dirayakan secara publik untuk pertama kali.

Margareta Maria Alacoque (1647-1690)

Margareta Maria masuk biara Visitasi di Paray-le-Monial pada 20 Juli 1671 dan mengikrarkan kaul-kaul pada 6 Nopember 1672. Sejak hidup di dalam biara keakrabannya dengan Tuhan semakin bertumbuh. Ia mengklaim diberikan kepadanya St Fransiskus Assisi sebagai pembimbing jiwanya, yang mendampingi dia menanggung segala derita yang menantinya. Dia didampingi oleh Pater Claude de la Colombière SJ sebagai pembimbing rohani dan bapa pengakuan.

Antara 1673-1675 ia menerima penampakkan-penampakan dari Tuhan yang intinya adalah mewahyukan Hati Kudus Yesus kepadanya. Ada empat penampakkan penting yang diterimanya:

  1. 27 Desember 1673: ia diberitahu bahwa Yesus telah memilih dia menjadi rasul Hati Kudus-Nya dan bahwa ia diizinkan untuk tinggal di dalam Hati Kudus-Nya. Kristus juga mengungkapkan keinginan-Nya untuk mempercayakan kepadanya misi untuk menyebarkan cinta Hati-Nya kepada semua orang.
  2. 1674 (tanggal tidak pasti): Yesus menunjukkan kepadanya Hati-Nya yang bertahtakan nyala-nyala dengan luka pada hati serta dikelilingi oleh mahkota duri dan salib di atasnya. Hati-Nya harus dihormati dalam bentuk hati manusiawi.
  3. 2 Juli 1674 (dalam oktaf Corpus Christi): Kristus meminta silih /pemulihan (reparation) atas segala dosa, ketidaktahuan berterimakasih dan kedinginan dunia. Ia diminta untuk menerima komuni silih pada Jumat pertama dalam bulan dan mengadakan Jam Suci (hora sancta) untuk silih pada setiap hari Kamis malam.
  4. 16 Juni 1675: Ia menerima “penampakkan agung”. Tuhan meminta kepadanya untuk menjadikan hari Jumat setelah Pesta Corpus Christi sebagai Pesta Hati Kudus dan bahwa komuni diterima pada hari itu untuk silih atas segala penghinaan terhadap Sakramen Mahakudus.

Perlu dikatakan bahwa banyak aspek penampakkan-penampakkan kepada Margareta Maria tidaklah sama sekali baru. Hampir semua gagasan dan penggambarannya dapat ditemukan dalam buku-buku yang sudah diterbitkan sebelum dia dan khususnya dalam tradisi biara atau Tarekatnya, seperti misalnya simbol-simbol berupa nyala pada hati, mahkota duri serta salib di atasnya.

Perlu ditegaskan bahwa penampakan-penampakan Paray-le-Monial adalah pertama-tama bersifat pribadi, karena tidak ada lagi penampakkan publik setelah masa apostolis, yakni berakhir dengan pembentukan kanon KS. Penampakkan-penampakkan setelah masa apostolis dipandang pribadi walaupun ada kebenaran-kebenaran demi kebaikan seluruh Gereja.

Konteks penampakkan di Paray-le-Monial tidak hanya karena adanya Yansenisme, tetapi juga masa itu ditandai oleh sekularisasi kehidupan yang mencirikhaskan masa moderen. Signifikasinya lebih terletak pada sifat profetiknya dan memiliki fungsi eklesial, yakni “untuk menyapa lingkungan si visioner dan lingkungan  Gereja dengan suatu pesan, yang memberi pengajaran, peringatan, tuntutan atau ramalan ke depan.” (K. Rahner, Visions, hal. 17). Pewahyuan-pewahyuan profetik pribadi tidak menambahkan pernyataan-pernyataan iman yang baru, tetapi “menerapkan iman atas cara praktis dalam kehidupan kristiani sehari-hari…. mempertegas apa yang sudah diketahui, walaupun secara implisit, dari iman, kehidupan Gereja dan teologi. Yang dikedepankan bukanlah pernyataan-pernyataan atau pokok-pokok baru dari iman tetapi perintah dan praktek hidup yang baru. Perintah-perintah profetik ini menyatakan bagaimana orang-orang kristiani harus hidup atau apa yang harus dilakukan dalam situasi historis yang khusus.” (Egan, Christian Mysticism. The Future of a Tradition, hal. 311-312).

Juga, dengan Margareta Maria kultus liturgis Hati Kudus mulai menjadi semakin publik dan bersifat eklesial dalam praktek Gereja universal.

Dalam hal penampakkan kepada Margareta Maria ia diberi perintah oleh Tuhan untuk membentuk devosi kepada Hati Kudus Yesus, meminta silih atas dosa-dosa, ketidaktahuan berterima kasih dan kedinginan dunia, melalui komuni pada Jumat pertama dan Jam Suci setiap hari kamis. Semuanya itu menghantar pada penetapan secara resmi Pesta Hati Kudus Yesus.

Demikianlah, ada tiga aspek yang terkait dengan penampakkan ini yakni: 1). silih atas dosa-dosa, ketidaktahuan berterima kasih dan kedinginan dunia; 2). Menghibur Tuhan yang bersengsara dan menderita (solider, ambil bagian dalam sengsara dan penderitaan Tuhan) melalui praktek Jam Kudus; 3). 12 Janji Hati Kudus[4] dan Janji Agung.[5]

Semua unsur tersebut membentuk semacam spiritualitas Hati Kudus yang dicirikaskan oleh “hidup batiniah, kepercayaan akan kehadiran cinta Allah di dunia yang penuh dosa dan keduniawian, serta silih.” (K. Rahner, “Theology of Devotion to the Sacred Heart,” dalam Theological Investigations 3:340). Bentuk-bentuk praktis spiritualitas ini yang muncul dalam kehidupan umat adalah: kultus liturgis Hati Kudus (pesta Hati Kudus, Ofisi Hati Kudus, Misa Hati Kudus), dan bentuk-bentuk devosional seperti silih (komuni silih, jam kudus, aksi silih pada pesta Hati Kudus), pentahtaan dan penghormatan (intronisasi) gambar / patung Hati Kudus; penyerahan/bakti diri orang pribadi, lembaga dan negara kepada Hati Kudus, serta kerasulan doa (apostleship of prayer – SJ).

Dapat dipahami bahwa bagi Margareta Maria hati fisik/manusiawi Kristus melambangkan cinta-Nya bagi umat manusia. Hati fisik/manusiawi menjadi obyek utama devosi Hati Kudus. Hati Yesus adalah hati yang terluka dan menderita penghinaan karena dosa-dosa, ketidaktahuan berterima kasih dari umat manusia. Hati yang menderita dan terluka ini meminta balasan cinta, yang dikonkritkan dalam pelbagai bentuk penghormatan atau praktek kesalehan (devosi). Baginya Hati merupakan sumber tak habis-habisnya “semua kekayaan cinta, kerahiman dan rahmat, pengudusan dan keselamatan yang dikandungnya.”

Demikianlah, sejak abad pertengahan, dan khususnya pada masa St Margareta Maria Alacoque gagasan dan pemahaman tentang Hati Kudus sangat erat berkaitan dengan devosi kepada Hati Kudus. Muncul banyak bentuk dan ekspresi devosi kepada Hati Kudus. Salah satu karakteristik abad ke-19 adalah munculnya devosi-devosi dan khususnya devosi Hati Kudus menjadi sangat subur dan populer. Masa ini disebut zaman emas kedua devosi kepada Hati Kudus.

Bahkan ada banyak Tarekat religius yang didirikan sekitar abad ini yang dibaktikan kepada Hati Kudus, misalnya Tarekat para Religius (Wanita) Hati Kudus Yesus (RSCJ – 1800) yang didirikan oleh Madeleine Sophie Barat, Misionaris Hati Kudus (MSC – 1854), Putri-Putri Bunda Hati Kudus (PBHK – 1874), Imam-Imam Hati Kudus (SCJ/Congregatio Sacerdotum a Corde Jesu – 1878) yang didirikan oleh Leo Dehon, Suster-Suster Misionaris Hati Kudus/Missionary Sisters of the Sacred Heart of Jesus (Cabrini Sisters oleh Frances Xavier Cabrini – 1880), Suster-Suster Misionaris Hati Kudus Yesus/Missionary Sisters of the Most Sacred Heart of Jesus (Sr MSC oleh Hubertus Linckens MSC – 1899/1900; Fr BHK oleh Mgr Andreas Ignatius Schaepman – 13 Agustus 1873).[6] Salah satu aspek perhatian mereka adalah penyakit-penyakit masyarakat (social ills), yang perlu dicarikan solusi, seperti pendidikan anak-anak, kesehatan, kekeringan iman, sikap acuh tak acuh terhadap agama/Tuhan, dsb.

Pater Jules Chevalier, Pendiri Kongregasi MSC

Pater Jules Chevalier (15 Maret 1824 – 21 Oktober 1907) dikenal sebagai Pendiri Kongregasi MSC dan PBHK / FDNSC. Chevalier bertumbuh dari suatu keluarga sederhana. Ia telah memupuk cita-citanya untuk menjadi imam sejak kecil, lalu berkembang ketika ia berada di Seminari Menengah St Gaultier dan Seminari Tinggi St Sulpice di Bourges. Selain berdevosi kepada Hati Kudus Yesus ia juga berdevosi kepada Bunda Maria, yang kemudian membentuk spiritualitasnya.

Situasi sosial di Provinsi Berry dan di Perancis pada umumnya menjadi keprihatinannya dan menumbuhkan suatu kerinduan untuk memeranginya. Karisma dan semangatnya bertumbuh diiringi dengan keinginan untuk mengemban suatu misi untuk menjadikan devosi kepada Hati Kudus Yesus sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan “le mal moderne – the evils of the time atau the modern evil”. Seperti Yesus, ia prihatin terhadap umat manusia (humanity) yang terluka oleh kejahatan-kejahatan sosial/moderen seperti egoisme, sikap acuh tak acuh terhadap agama (yang menjadi akar kejahatan-kejahatan), materialisme, rasionalisme, Yansenisme. Ia menulis: “Yesus berbahagia mencurahkan kelembutan hati-Nya kepada orang-orang kecil dan miskin, kepada mereka yang menderita dan kepada para pendosa, dengan kata lain pada kemalangan-kemalangan yang melanda umat manusia. Melihat kemalangan apa pun Hati-Nya tergerak oleh belas kasihan/bela rasa.” Chevalier muda berpikir tentang orang-orang yang menderita baik secara rohani maupun materiil, karena “mereka adalah sahabat-sahabat khusus dari Hati Yesus.” Sebagai seorang muda di Seminari Tinggi Bourges ia menjadi sadar akan kebutuhan suatu kongregasi misioner, yang akan mengemban tugas perutusan yakni membawa penyembuhan pada penyakit-penyakit zaman. Ia sendiri merasa bahwa Allah memanggil dia untuk suatu misi yang khusus di dalam Gereja. Katanya: “Ketika saya sedang berada di seminari saya merasa prihatin akan kemerosotan masyarakat. Saya mendapat gagasan, atau lebih baik Allah menginspirasi pikiran saya untuk mendirikan suatu komunitas yang terdiri dari para misionaris imam, yang akan bekerja untuk menyembuhkannya” (J. Chevalier, Manuscript, 1859, yang dikutip dalam “FDNSC Resource Material,” hal. 107).

Setelah mengadakan novena bersama P. Maugenest di salah satu kapel samping Gereja St Cyr, Issoudun, ia mendeklarasikan berdirinya Kongregasi MSC pada 8 Desember 1854 di Issoudun. Ia menulis: “Para imam yang akan menjadi bagian dari Kongregasi kecil ini akan mengambil nama ‘Para Misionaris Hati Kudus Yesus’ dan akan berupaya untuk memenuhi makna penuh dari nama itu.” (J. Chevalier, Annals of the Little Society, Fontes MSC, Series 1, Rome, 1984, hal. 4).

Dengan memberi nama “Societé des Missionaires du Sacré-Coeur de Jésus” (Societas para Misionaris Hati Kudus Yesus) Jules Chevalier ingin menegaskan bahwa para anggota Kongregasi ini akan menjadi orang-orang yang mengemban tugas perutusan Gereja yang bersifat universal, di mana-mana (Ametur Ubique Terrarum Cor Jesu Sacratissimum. In aeternum). Ia tidak mau membatasi karya para MSC hanya di Issoudun atau Perancis. “Mulai bertumbuh kebiasaan untuk menyebut kita Para Misionaris Hati Kudus dari Issoudun. Proteslah hal itu. Marilah kita hanya mengatakan Para Misionaris Hati Kudus Yesus. Itulah nama resmi kita. Kita adalah milik Gereja dan bukan semata-mata milik Issoudun” (J. Chevalier, 1898).

Dengan memberikan nama “Misionaris Hati Kudus Yesus” Chevalier menekankan hakekat apostolik-aktif dari Kongregasi ini. “Kita memasuki lembaga ini untuk menjadi misionaris-misionaris; kata ini ‘misionaris’ merangkum segalanya. Lembaga kita tidak dapat diubah menjadi suatu ordo kontemplatif” (J. Chevalier, Letters. Dikutip oleh J. Van Kerkchoven, “The Charism of Jules Chevalier,” dalam FDNSC Resource Material, hal. 89). Ia juga menegaskan: “Nama ini dapat diterapkan kepada seorang pastor paroki atau rekannya, kepada seorang kapelan sebagaimana juga kepada seorang pengajar, atau dengan kata lain kepada semua anggota Kongregasi apa pun juga pekerjaannya” (J. Chevalier, La Société des MSC, Bourges, 1872, hal. 3-4). Dalam Peraturan-Peraturan (Rules) tahun 1855, 1857 dan 1862 ia menyatakan bahwa secara mendasar maksud pendirian Kongregasi MSC adalah untuk “memuliakan Allah, untuk mengenalkan kekayaan kasih dan belas kasih Hati Kristus serta membantu keselamatan sesama manusia.” Tujuan ini akan dicapai melalui karya-karya kerasulan seperti pelayanan pastoral paroki, pendidikan, perhatian terhadap orang-orang sakit dan miskin serta misi ke luar negeri. Dalam Formula Instituti misi ke luar negeri disebutkan sebagai salah satu karya utama Kongregasi. “Kongregasi menjalankan pelbagai pelayanan hidup kerasulan, juga di antara orang-orang kafir, dengan persetujuan Takhta Suci.” Nomor 20-22 dari Konstitusi MSC yang disetujui oleh Kongregasi Suci untuk Kaum Religius dan Lembaga-Lembaga Sekular tertanggal 8 Desember 1984, mengekspresikan tugas perutusan kepada kaum marginal dalam pilihan mengutamakan kaum miskin (preferential option for the poor), yang terkandung dalam kaul kemiskinan (Konstitusi, no. 48).

Juga, Kongregasi yang pada hakekatnya apostolik-aktif ini akan menjalankan karya pelayanan apa saja yang dibutuhkan oleh Gereja. “

Kongregasi baru ini ia persembahkan kepada Hati Kudus Yesus dan dalam penyertaan St Perawan Maria, yang kemudian pada 1857 diberinya gelar khusus yakni Maria, Bunda Hati Kudus.

Jules Chevalier dan Sekolah Spiritualitas Perancis

Untuk memahami spiritualitas Pater Jules Chevalier perlulah kita menempatkannya dalam konteks teologi atau rohani yang berpengaruh pada waktu itu, khususnya ketika ia belajar di Seminari Tinggi St Sulpice, Bourges. Spiritualitasnya juga turut dibentuk dan dipengaruhi selain oleh penghayatan pribadinya tetapi juga oleh ajaran yang diterimanya dan iklim penghayatan iman dan devosi pada masanya seperti pengaruh dari Sta Margareta Maria Alacoque.

Baiklah kita menelusuri secara khusus pengaruh sekolah spiritualitas Perancis dari para Sulpisian,[7] dari siapa Jules Chevalier belajar di bangku seminari tinggi Bourges.

Ajaran dasar dan utama dari Sekolah Perancis ini adalah: kebesaran dan kekudusan Allah (the Almighty, the Holy), ketiadaan (tidak ada apa-apanya – nothingness) dari makhluk ciptaan, misteri Yesus sang Sabda yang menjelma/inkarnasi, kelekatan pada Yesus serta penyangkalan diri.

  1. Kebesaran/keagungan dan kekudusan Allah: Allah sedemikian besar, berkuasa, mutlak dan kudus; hal ini sangat kontras dengan makhluk ciptaan-Nya. Doa yang pantas bagi-Nya adalah “pengakuan, hormat dan adorasi/sembah” pada keagungan kuasa Allah.
  1. Ketiadaan (nothingness) makhluk ciptaan: dibandingkan dengan kesempurnaan Allah semua makhluk ciptaan tidak berharga apa-apa. Allah adalah kepenuhan segala sesuatu dan Dia sajalah yang mempunyai hak untuk eksis. Gagasan ini (nothingness) berhubungan dengan ide tentang natura caduta (kodrat yang jatuh/rusak) dari manusia karena dosa asal (Agustinus).
  2. Misteri Yesus sang Sabda yang menjelma (inkarnasi): Bagi Kardinal de Berulle penghampaan diri dari sang Sabda merupakan motif paling sempurna untuk melayani Allah. Ia berbicara tentang keadaan-keadaan batin (interior states), disposisi-disposisi intim (intimate dispositions) dan pekerjaan-pekerjaan Roh (operations of the Spirit) dalam jiwa Yesus yang suci. Inkarnasi adalah pusat segala-galanya. Yesus adalah Penyembah Sempurna (Perfect Adorer) dan Penghayat Agama Sejati (True Religious). Oleh karena itu, bagi orang beriman kewajiban utama adalah menyembah (adorasi) Allah dan Yesus Kristus serta misteri-misteri hidup-Nya. Adorasi menyimpulkan segala sesuatu. Itulah keutamaan agama dan terutama berisi “pengakuan akan kebesaran dan kebaikan ilahi.” Yesus adalah juga Pengantara Sempurna. Penyembahan oleh Kristus kepada Bapa menyembatani jarak yang tak terukur antara kehampaan serta ketidakcukupan manusia dengan kepenuhan Allah. Kristus juga adalah Imam sejak awal inkarnasi-Nya untuk selama-lamanya. Fungsinya sebagai Imam Agung adalah untuk memuliakan Bapa dengan mengorbankan diri-Nya demi keselamatan jiwa-jiwa. Kristus sebagai Imam Agung adalah orang yang par excellence memberikan kemuliaan kepada Allah dan menjalankan kehendak-Nya terutama melalui korban Ekaristi (Ekaristis). Demikianlah, kita melihat spiritualitas ini bercorak kristosentris-inkarnatoris dan sacerdotal.
  3. Kelekatan (attachment) pada Yesus dan penyangkalan diri: kelekatan pada Kristus adalah syarat keselamatan. Kelekatan berarti melepaskan diri dari keinginan-keingian pribadi dan mempersatukan diri dengan Kristus dengan mengambil bagian dalam misteri-misteri-Nya. Ada dua sisi dari misteri-misteri Kristus, yakni: exterior, yakni yang bersifat sementara dan terdiri dari tindakan-tindakan Yesus semasa hidup-Nya di dunia, serta interior, yang bersifat permanen dan terdiri dari disposisi-disposisi batin dalam setiap misteri yang terhubung dengan inkarnasi. Tindakan yang menyertai kelekatan pada Yesus adalah penyangkalan diri (self-denial), yakni menjauhkan segala yang tidak sesuai dengan yang ilahi. Dua sikap ini yakni kelekatan dan penyangkalan diri saling melengkapi.

Doa adalah sarana atau jalan untuk melekatkan diri pada Kristus. Jacques Olier lalu mengembangkan metode doa yang sesuai ajaran di atas, yakni:

  1. Sembah sujud (adoratio): Yesus di hadapan mata kita – kontemplasi
  2. Persatuan (communio): Yesus di dalam hati kita – membatinkan apa yang dialami dalam kontemplasi untuk bersatu dengan Yesus; identifikasi dengan Yesus
  3. Kerja sama (cooperatio): Yesus di tangan kita – keputusan dan aksi.

Pater Chevalier menggunakan metode doa ini yang bagi dia secara konkrit adalah:

  1.  Adoratio: Hati Kristus di hadapan mata kita – cara untuk masuk ke dalam kehadiran Allah dan memperdalam kerendahan hati serta keinginan untuk menyembah Hati Yesus.
  2. Communio: Hati Kristus di dalam hati kita – berelasi akrab atau bersatu dengan Hati Yesus yang ada di dalam diri kita dan yang menyemangati kita untuk menghadapi segala sesuatu.
  3. Cooperatio: Hati Kristus di tangan kita – persatuan dengan cinta Kristus memungkinkan kita bekerja untuk memaklumkan, membagikan pesan kasih Allah yang dinyatakan dalam Hati Kudus.

Dapat dikatakan bahwa pembentukan dan perkembangan spiritualitas dalam diri Chevalier dipengaruhi oleh devosi kepada Hati Kudus Yesus sebagaimana dipromosikan oleh Margaretha Maria Alacoque (lihat penampakan-penampakan di Paray-le-Monial), oleh spiritualitas sekolah St Sulpice Perancis (Sabda yang menjelma, adorasi, pengorbanan, Ekaristi, kekudusan Allah dan kerendahan hati manusia, dsb), dan situasi sosial masyarakatnya pada waktu itu. Walaupun semua pengaruh itu berkembang dan terbentuk dalam diri Chevalier suatu spiritualitas khas:

  • Way of life berdimensi sosial: Baginya devosi kepada Hati Kudus Yesus tidak hanya sekedar ritual atau praktek saleh, sebagaimana lazim pada umumnya, tetapi merupakan suatu cara hidup (way of life), yang dibimbing oleh keutamaan-keutamaan Hati Yesus, seperti kerendahan hati, kebaikan dan kelemah-lembutan, suatu hati yang tertikam/terbuka bagi dunia serta kepedulian terhadap orang-orang miskin dan menderita apa pun.
  • Selain itu, Pater Chevalier memberikan suatu visi misioner universal pada Tarekat-Tarekat yang didirikannya (Ametur….). Bagi dia Tarekat yang baru tidak dapata dibatasi di Issoudun atau Perancis saja, tetapi menjadi milik Gereja universal.
  • Tarekat ini juga bersifat apostolik dan aktif, dan tidak dapat diubah menjadi kontemplatif.
  • Tarekat ini diletakkan dalam perlindungan Bunda Maria (dimensi Marial): ia mempuyai keyakinan yang kuat dan mendalam akan pengantaraan Bunda Maria, yang kemudian dihormatinya dengan nama khusus “Bunda Hati Kudus.”

Semuanya itu membentuk pribadi Chevalier sebagai seorang misionaris Hati Kudus Yesus yang sejati. 

Penegasan-Penegasan Gereja dan Para Paus

Periode setelah Margareta Maria sangatlah sulit. Pesan Paray-le-Monial tidak diterima dengan gampang oleh semua kalangan dalam Gereja. Oposisi datang dari banyak pihak, khususnya para Yansenis (Yansenisme). Namun, dengan bantuan para Yesuit seperti Claude de la Colombière, Jean Croiset dan Joseph Francis Gallifet devosi menyebar dengan cepat di kalangan Ordo Visitasi dan seluruh Gereja.

Banyak upaya dilakukan agar Pesta Hati Kudus mendapat pengakuan resmi dari Gereja. Hal ini membutuhkan waktu dan kesabaran yang berbuah pelembagaan resmi Pesta Hati Kudus dan Ofisi Hati Kudus. Dalam pembaharuan liturgi oleh Konsili Vatikan II Hari Raya Hati Kudus dipertahankan, yakni pada hari Jumat setelah Pesta Tubuh dan Darah Kristus / Sakramen Mahakudus (Corpus Christi).

Sementara itu penegasan-penegasan dan aktivitas-aktivitas resmi dari para Paus menjadi penting dan menentukan dalam bingkai ajaran Gereja. Pada tahun 1856 Paus Pius IX menetapkan pesta Hati Kudus pada hari Jumat oktaf Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (Misa ‘Miserebitur’) sebagai perayaan wajib bagi seluruh Gereja. Sebelumnya Pesta Hati Kudus sudah dirayakan di Polandia, Portugal (1765), Venetia (Italia), Austria, Spanyol (1788).

Dalam ensiklik “Divinum Illud Munus” (9 Mei 1897) tentang Roh Kudus Paus Leo XIII mencirikhaskan Gereja sebagai “yang lahir dari lambung Adam kedua ketika Ia wafat di salib” (no. 5). Pada 25 Mei 1899 Paus Leo XIII mempersembahkan seluruh dunia kepada Hati Kudus dan menulis ensiklik “Annum Sacrum” (Tahun Suci) untuk mempersiapkan umat demi persembahan tersebut. Ia mengagungkan pesta Hati Kudus dan ensikliknya menekankan bahwa Kristus Raja meraja atas segala ciptaan dan hati manusia. Litani Hati Kudus, yang disetujui pada tahun itu juga, sangat dianjurkan. Pada 11 Desember 1925 Paus Pius XI menerbitkan ensiklik Quas Primas (Yang pertama-tama) di mana ia mewajibkan pesta Kristus Raja bagi seluruh Gereja. Pada hari raya ini aksi persembahan diri manusia kepada Hati Kudus setiap tahun diperbarui. Ensiklik ini menekankan arti Kristus sebagai Raja secara lebih rinci: “sebagai Raja atas hati kita maka Kristus haruslah pertama-tama berkuasa di dalam hati setiap orang dan barulah kekuasaan sosial-Nya dapat dikukuhkan”. Pada 8 Mei 1928 Paus Pius XI mengeluarkan ensiklik “Miserentissimus Redemptor” (Penebus yang paling berbelaskasih) yang berbicara tentang silih atau pemulihan kehormatan kepada Hati Kudus Yesus. Artikel 11-36 berbicara mengenai pemulihan kehormatan; dimulai dengan pemulihan kehormatan secara umum, pemulihan kehormatan sebagai silih kepada Allah atas dosa-dosa kita. Kristus membawa pelunasan bagi kita semua, tetapi kita harus ikut serta dalam pelunasan-Nya itu melalui penyerahan diri kita kepada Allah di dalam persatuan dengan Kristus (art.11-20). Kemudian ensiklik tersebut melukiskan mengenai pemulihan kehormatan di dalam devosi kepada Hati Kudus; pemulihan kehormatan yang ditujukan kepada Kristus untuk menghibur Dia di dalam penderitaan-Nya yang harus Ia pikul selama kehidupan-Nya di dunia, dan juga untuk menerangkan bahwa penderitaan yang dilakukan Kristus kini dialami di dalam Tubuh Mistik-Nya (art.21-23). Beliau merestui pesan khusus dari Paray-le-Monial dan berbicara tentang  silih dalam relasi kita dengan Hati Kudus dan meminta umat untuk secara mulia membaharui setiap tahun perbuatan silih.

Ensiklik “Haurietis Aquas” (Kamu akan menimba air) dari Paus Pius XII (15 Mei 1956) menjadi titik balik, yang membuka periode baru devosi Hati Kudus. Beliau menguraikan secara singkat perkembangan historis ajaran dan devosi Hati Yesus. Ia menunjukkan dasar biblis, patristik dan liturgis dari devosi ini dan mengajak para ilmuwan untuk melancarkan studi mendalam tentang devosi ini. Ia bahkan meneguhkan ajaran-ajaran para pendahulunya dan memperluas makna antropologis dan teologis, sambil menunjukkan bahwa hati fisik sang Sabda yang menjelma merupakan simbol natural cinta-Nya kepada manusia, yakni sensible love, spiritual-human love dan uncreated love (cinta Bapa-Putera-Roh). Sambil menunjukkan pentingnya bentuk-bentuk devosi (silih, jam kudus, jumat pertama, pembaktian diri, dsb), ia serentak membedakannya dengan hal-hal esensial dari devosi tersebut. Bentuk konkrit dapat berubah tetapi esensinya tidak. Dalam ensiklik yang sama ini Paus Pius XII juga menyebutkan dengan jelas bahwa Gereja dan hidup sakramentalnya lahir dari lambung Penebus pada salib: “Oleh karena itu, dari Hati terluka sang Penebus lahirlah Gereja, pembagi darah penebusan. Dari-padanya mengalir aliran rahmat sakramental yang berlimpah, dari mana putra-putri Gereja meminum kehidupan abadi, sebagaimana kita baca dalam liturgi suci: Dari Hati yang ditikam, Gereja yang adalah pengantin Kristus lahir…. Dan Ia mencurahkan rahmat yang berasal dari Hati-Nya” (n. 76).

Konsili Vatikan II tidak secara khusus menyebut devosi ini tetapi tetap merekomendasikan devosi-devosi sejauh bersesuaian dengan norma-norma liturgi dan bahwa devosi-devosi itu mengalir dari liturgi dan menghantar umat pada iman. Konsili menyebutkan dua kali bahwa Gereja berasal dari lambung Kristus, “karena dari lambung Kristus, ketika Ia mengalami kematian di salib, berasal sakramen yang mengagumkan yang adalah seluruh Gereja” (Sacrosanctum Concilium, no. 5) dan “Permulaan dan pertumbuhannya dilambangkan oleh darah dan air yang mengalir dari lambung terbuka dari Yesus yang disalibkan” (Lumen Gentium, no. 3). Demikianlah dibuat kaitan antara peran Gereja yang menyelamatkan  dengan misteri liturgis-paskal dalam referensinya pada asal Gereja di salib.

Dokumen Gaudium et Spes menyebut hati manusia sebanyak 34 kali, dan ada pesan penting mengenai hati manusia.[8] Dalam art. 10 Konstitusi GS berkata: ”Memang benarlah ketidak-seimbangan yang melanda dunia dewasa ini berhubungan dengan ketidak-seimbangan lebih mendasar, yang berakar dalam hati manusia” (GS 10). Selanjutnya art. 10 melukiskan bagaimana terjadinya akar perpecahan dalam keharmonisan hidup umat manusia yaitu karena keterpecahan di dalam hati kita. Untuk menyembuhkan umat manusia dituntut penyembuhan hati kita. Hal ini hanya dimungkinkan melalui pencurahan Roh Kudus: ”Berkat kurnia Roh Kudus, manusia dalam iman makin mendekat untuk berkontemplasi tentang misteri Rencana ilahi serta menikmatinya” (GS 15). Art. 16 melanjutkan: ”Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang  jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Atas kesetiaan terhadap hati nurani umat kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari kebenaran, dan dalam kebenaran itu untuk memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan.”

Apabila kita mendengarkan nurani kita, yang bergema di dalam hati kita, kita dapat menemukan pemecahan terhadap problem kita pribadi maupun problem sosial. Tetapi ini menuntut pembaruan hati kita: ”Tata dunia itu harus semakin dikembangkan, didasarkan pada kebenaran, dibangun dalam keadilan, dihidupkan dengan cinta kasih; harus menemukan keseimbangannya yang semakin manusiawi dalam kebebasan. Supaya itu semua terwujud perlulah diadakan pembaruan mentalitas dan perubahan-perubahan sosial secara besar-besaran. Roh Allah, yang dengan penyelenggaraan-Nya yang mengagumkan mengarahkan peredaran jaman dan membarui muka bumi, hadir di tengah perkembangan itu. Adapun ragi Injil telah dan masih membangkitkan dalam hati manusia tuntutan tak terkendali akan martabatnya” (GS 26). Art. 30 menghasilkan sebuah aspek sebagai tuntutan mutlak di dalam memperbaiki sikap batin kita. Kita tidak boleh cukup puas hanya dengan suatu moral individual, tetapi kita harus belajar menerima kewajiban sosial kita. Dunia masa kini sangat membutuhkannya: ”Ada saja yang kendati menyuarakan pandangan-pandangan yang luas dan bernada kebesaran jiwa, tetapi menurut kenyataannya selalu hidup sedemikian rupa, seolah-olah sama sekali tidak memedulikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Malahan di pelbagai daerah tidak sedikit pula yang meremehkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan sosial. Tidak sedikit juga, yang dengan bermacam tipu muslihat, berani mengelakkan pajak-pajak yang wajar maupun hal-hal lain yang termasuk hak masyarakat. Orang-orang lain menganggap sepele beberapa peraturan hidup sosial, misalnya, untuk menjaga kesehatan, atau untuk mengatur lalu-lintas, tanpa memedulikan bahwa dengan kelalaian semacam itu mereka membahayakan hidup mereka sendiri dan hidup sesama. Hendaknya bagi semua merupakan kewajiban suci: memandang hubungan-hubungan sosial sebagai tugas utama manusia jaman sekarang serta mematuhinya. Sebab semakin dunia bersatu, semakin jelas pulalah tugas-tugas orang-orang melampaui kepentingan kelompok-kelompok khusus, dan lama-kelamaan meluas ke dunia semesta. Itu hanyalah mungkin bila masing-masing perorangan dan kelompok mengembangkan keutamaan-keutamaan moral dan sosial dalam diri mereka sendiri, dan menyebarkannya dalam masyarakat. Dengan demikian memang sesungguhnya – berkat bantuan rahmat ilahi yang memang diperlukan – akan bangkitlah manusia-manusia baru yang membangun kemanusiaan yang baru pula” (GS 30).

Konsili menekankan bahwa sebuah tata sosial dalam dunia kita saat ini sangat dibutuhkan lebih daripada sebelumnya. Untuk menemukan arti dari kebutuhan akan pembaruan hati kita harus melihat pada kebutuhan-kebutuhan situasi: hati yang baru bagi dunia yang baru. Kita juga harus belajar mendengarkan hati dari dunia ini. Konsili Vatikan II mengajak kita untuk membarui hati kita. Kebutuhan yang mendesak dunia saat ini, dan kasih kepada sesama yang tidak mengenal batas-batas, menuntutnya. Inilah aspek paling penting dari aggiornamento, dari pembaruan yang menjadi pusat perhatian Konsili: pembaruan hati kita. Struktur-struktur Gerejawi diperbarui, liturgi diperbarui, demikian juga hidup membiara, tetapi semua perubahan ini hanyalah menjadi sarana dari perubahan yang paling penting: pembaruan hati kita. Janji Allah akan suatu hati yang baru kini terjawab lewat kebutuhan-kebutuhan yang paling mendesak.

Paus Paulus VI menulis dua surat tentang devosi ini, yakni: Investigabiles Divitias Christi (Kekayaan Kristus yang tak terperikan – 6 Pebruari 1965) pada kesempatan 200 tahun pembentukan pesta Hati Kudus. Surat ini ditujukan kepada para pemimpin Gereja yang diminta untuk mempromosikan devosi ini sebagai sarana terbaik untuk pembaharuan rohani dan moral. Surat kedua ditujukan kepada para pemimpin Ordo/Tarekat religius yang mendedikasikan dirinya untuk mempropagandakan kultus Hati Kudus. Kepada mereka beliau juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih.

Pemikiran Paus Yohanes Paulus II tentang devosi atau spiritualitas Hati Kudus dapat ditemukan dalam ensiklik Redemptor Hominis (Penebus umat manusia – 1979), dan paling bagus disarikan dalam ensiklik Dives in Misericordia (Kaya dalam kerahiman – Ef 2:4 – 1980). Ia menyebut kerahiman sebagai ciri terbesar Allah, dan devosi kepada Hati Kudus merupakan jalan masuk paling efektif pada kerahiman ilahi, khususnya bila hal itu dikaitkan dengan Ekaristi, yang merupakan anugerah cinta dan kerahiman terbesar dari sang Penyelamat. Dalam ensiklik ini Paus Yohanes Paulus II juga menekankan pentingnya “membudayakan cinta” (civilization of love) dan menghubungkannya dengan keadilan sosial. Ia mendorong keselarasan yang sempurna antara cinta yang berbelaskasih dengan keadilan.

Ensiklik perdana dari Paus Benediktus XVI berbicara tentang cinta, Deus Caritas Est (25 Desember 2005). Ensiklik ini terdiri dari dua bagian besar, yakni: 1). Kesatuan Kasih dalam tata penciptaan dan sejarah keselamatan. Sifatnya adalah pemahaman tentang kasih yang terangkum dalam “Allah adalah kasih.” Diuraikannya tentang arti cinta. 2). Caritas, pelayanan kasih Gereja sebagai persekutuan kasih–yakni pengejahwantahan kasih oleh Gereja dalam hubungan antar sesama.

Pada kesempatan peringatan 50 tahun ensiklik Haurietis Aquas, 15 Mei 2006, Paus Benedictus XVI menyampaikan suatu surat tentang pentingnya devosi Hati Kudus kepada Pater Peter-Hans Kolvenbach, Pemimpin Umum SJ.

Paus Fransiskus sangat menekankan kerahiman dan belaskasih Allah. Semboyannya “miserando atque eligendo” dikutip dari homili dari Venerabilis Bede, (Homily 21: CCL 122, 149-151), pada Pesta St Matius, yang berbunyi: Vidit ergo Jesus publicanum, et quia miserando atque eligendo vidit, ait illi, ‘Sequere me’. [Jesus therefore sees the tax collector, and since he sees by having mercy and by choosing, he says to him, ‘follow me’]. Bdk Panggilan Matius: Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku.” Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia” (Mat 9:9). Dalam ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan beliau sangat nyata fokusnya ada pada kerahiman atau belaskasih (misericordia) Allah, yang merupakan wujud kasih-Nya. Bahkan, melalui bulla Misericordiae Vultus (11 April 2015), beliau memaklumkan tahun suci khusus dengan tema kerahiman ilahi (Tahun Suci Kerahiman Ilahi), yang dibuka pada 8 Desember 2015 dan ditutup pada Pesta Kristus Raja, 20 November 2016. Sepanjang tahun suci khusus ini pintu suci di Vatikan akan dibuka untuk umum menjadi Pintu Kerahiman. Bulla tersebut diawali dengan kata-kata: “Yesus Kristus adalah wajah kerahiman Bapa” dan diakhiri dengan kutipan Mazmur 25:6 “Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala.”

Dalam Surat Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013; 288 nomor) Sri Paus berbicara secara panjang lebar tentang Pewartaan Injil di Dunia Dewasa Ini. “Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus” (EG, no. 1). Dalam surat ini ada banyak titik persamaan dengan spiritualitas hati. Juga, ensiklik beliau tentang merawat bumi dan lingkungan hidup, Laudato Si’ (24 Mei 2015 – 246 nomor) sangat selaras dengan pandangan kosmik dari Pater Jules Chevalier tentang alam ciptaan. Juga, surat anjuran Amoris Laetitia – Sukacita kasih (19 Maret 2016 – 325 nomor) tentang cinta dalam keluarga mempunyai titik temu dengan spiritualitas hati. Pada 3 Oktober 2020, vigili Pesta St Fransiskus dari Assisi dan di makamnya, Paus Fransiskus menandatangani dan merilis ensiklik Fratelli Tutti, suatu ensiklik sosial, tentang persaudaraan dan persahabatan sosial (human fraternity and social friendship). Ia menyarankan persaudaraan dan persahabatan sosial sebagai cara atau jalan untuk membangun suatu dunia yang lebih baik, lebih adil dan damai, dengan komitmen dari semua orang, tanpa sekat budaya, agama, suku, dsb. Ia menekankan bahwa di rumah bersama, yakni bumi, kita semua hidup sebagai satu keluarga untuk memulihkan dunia dan mengatasi masalah-masalah yang muncul. Sebelumnya Pada 4 Februari 2019 Sri Paus menanda tangani bersama dengan Imam Besar Ahmad Al-Tayyeb dokumen tentang Human Fraternity for World Peace and Living Together, yang juga dikenal sebagai Deklarasi atau Persetujuan Abu Dhabi. “Allah “menciptakan semua manusia setara dalam hak, kewajiban, dan martabat, dan memanggil mereka untuk hidup berdampingan sebagai saudara dan saudari (FT, no. 5).

Dalam dokumen Abu Dhabi dan Fratelli Tutti Paus Fransiskus mengungkapkan kebesaran dan keterbukaan hatinya untuk menjangkau semua kalangan, tanpa dibatasi oleh suku, agama, budaya, bahasa, dsb. Hati manusia perlu dirobah (a change of heart) untuk menciptakan suatu dunia yang damai. Ia menyoroti ketakutan berlebihan, yang tidak dapat diatasi oleh teknologi sekarang. Akibatnya tercipta “barikade-barikade baru untuk pertahanan diri, sehingga tak ada lagi dunia; yang ada hanya dunia ‘saya,’ hingga banyak orang tidak lagi dianggap sebagai manusia dengan martabat yang tak dapat dicabut, tetapi hanya menjadi ‘mereka.’ Muncul kembali godaan untuk menciptakan budaya tembok, untuk meninggikan tembok, tembok dalam hati, tembok di bumi untuk mencegah perjumpaan dengan budaya lain, dengan orang lain” (FT, 27). Hanya satu sumber yang dapat mengubah hati manusia ialah “kasih yang ditanamkan Allah” (FT, 91), suatu “gerakan yang memusatkan perhatian kepada yang lain” (FT, 93).

Dalam pelbagai dokumen resmi dan wejangan-wejangan Paus Fransiskus kita dapat membaca spiritualitasnya yang mengalir dari hatinya.[9] Yang mendapat perhatian khusus dari Paus Fransiskus adalah hati dari mereka yang miskin, sakit, terpinggirkan/termarginalkan, atau mereka yang martabatnya sebagai manusia rentan dilanggar, dan hati dari bumi ini yang tercemarkan oleh perilaku manusia seperti pengrusakan, dsb.

*******

J. Mangkey, MSC                                                                       Novisiat MSC, 10 – 15 Oktober 2022


[1] Pembahasan menyeluruh tentang perspektif biblis: lihat Jan G. Bovenmars MSC, A Biblical Spirituality of the Heart, Alba House, NY, 1991; diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Spiritualitas Hati Menurut Alkitab” olehFr. Fransiskus Hardjosetiko BHK dari buku versi bahasa Belanda “Bijbelse Spiritualiteit van het Hart”.

[2]Spiritualities of the Heart”, edited by Annice Callahan, RSCJ, Paulist Press, New York, 1990, yang mengupas 15 tokoh yang menjadikan hati sebagai fokus pemahaman dan penghayatan.

[3] Misalnya “Perfectae Caritatis” (Dekrit tentang pembaruan dan penyesuaian hidup membiara, no. 2). Sumber-sumber asli yang dimaksud adalah Kitab Suci (Kristus), dokumen-dokumen Gereja dan dokumen/sejarah Tarekat/Ordo (Pendiri).

[4] Kepada siapa saja yang menghormati HATI KUDUS secara istimewa, KRISTUS menjanjikan rahmat-rahmat berikut:

  1. Aku akan menganugerahkan kurnia yang dibutuhkan dalam suatu keadaan yang mendesak.
  2. Aku akan mengaruniakan damai dalam keluarga-keluarga mereka.
  3. Aku akan menghibur mereka dalam segala penderitaan.
  4. Aku akan menjadi tempat berlindung bagi mereka sepanjang hidup, khususnya pada saat menghadapi maut.
  5. Aku akan mencurahkan berkat atas segala usaha mereka.
  6. Para pendosa akan menemukan dalam hati-Ku sumber dan samudera belas kasihan yang tak terbatas.
  7. Orang-orang yang dingin hati akan memperoleh karunia semangat kerajinan untuk berbuat baik.
  8.  Orang-orang yang bersemangat dan rajin akan berkembang dengan cepat menuju kesempurnaan yang tinggi.
  9.  Para imam akan memperoleh kurnia-kurnia, agar mereka sanggup melunakkan hati yang paling keras dalam dosa.
  10. Aku akan memberkati rumah-rumah dimana patung/gambar hati-Ku yang terkudus ditempatkan dan dihormati.
  11.  Nama setiap orang yang menyebarluaskan penghormatan ini akan tertulis dalam hati-Ku dan tak akan pernah terhapus.
  12.  Aku tak akan membatalkan sedikit pun kurnia-kurnia bagi semua orang yang ingin memperoleh-Nya dalam hati-Ku.

[5] Dalam kelimpahan belas kasih Hati-Ku, aku menjanjikan bahwa Cinta-Ku yang maha kuasa akan mengaruniakan kepada setiap orang yang menyambut Komuni Suci pada sembilan hari Jumat pertama berturut-turut akan meninggal dengan selamat dan pada akhir hidupnya akan menyesali dosa-dosanya. Mereka tidak akan meninggal dalam keadaan ditolak oleh-Ku dan tanpa menerima sakramen orang sakit pada saat mana hati ilahi-Ku akan menjadi tempat perlindungan yang aman dan sentosa.

[6] Lihat E. Bergh, “La Vie Religieuse au Service du Sacré-Coeur” dalam A. Bea, H. Rahner, H. Rondet, F. Schwendimann, Cor Jesu (Roma, Casa Editrice Herder, 1959), II: 463-498, yang mendaftarkan sekitar 200 Kongregasi Religius yang didirikan pada abad 18 dan 19 dan dibaktikan pada Hati Kudus.

[7] Lihat halaman 5 di atas.

[8] Untuk uraian tentang hati dalam Gaudium et Spes lihat Jan Bovenmars (msc), Biblical Foundation of the Spirituality of the Heart, diterjemahkan oleh Fr. Frans BHK “SPIRITUALITAS HATI MENURUT ALKITAB” dari“Bijbelse Spiritualiteit van het Hart”, hal. 197 – 199.

[9] Untuk titik persamaan atau temu spiritualitas Paus Fransiskus dan spiritualitas hati, lihat Kursus Spiritualitas Online dari Pater Hans Kwakman, no. 17 dst.